Sabtu, 29 Mei 2010

Ketika petani padi Korea Selatan dan Jepang berunjuk rasa menentang liberalisasi pasar beras, mereka berteriak keras, usaha tani padi harus dilindungi. Mereka menyatakan, perlindungan itu terkait keyakinan dan penghormatan terhadap nenek moyang mereka, yaitu petani padi.

Mereka menyatakan, meski negara mereka sudah maju, mereka tetap menghormati nenek moyang mereka. "Nenek moyang kami adalah petani padi," kata mereka di majalah Time beberapa waktu lalu.

Penelitian kosakata budaya yang diduga digunakan pada masa prasejarah memberi petunjuk bahwa cocok tanam padi sudah dilakukan pada masa itu. Kosakata yang diteliti adalah kosakata yang diduga termasuk dalam bahasa Melayu Purba, yang merupakan leluhur bahasa Melayu modern dan bahasa Indonesia.
Ahli bahasa Robert Blust dalam sebuah tulisannya di dalam buku Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991) menyatakan, dari penelitian kosakata budaya itu diketahui bahwa penutur bahasa Melayu Purba memiliki orientasi kelautan yang kuat. Pada saat yang bersamaan, rakyat mempraktikkan hortikultura ladang, padi gogo, dan umbi-umbian.

Peneliti JC Anceaux dalam buku yang sama mengutip penelitian Hendrik Kern asal Belanda, menyebutkan bahwa kosakata yang terkait dengan padi ditemukan penutur di bagian barat Austronesia "asal nenek moyang bangsa Melayu" namun tidak ditemukan di wilayah timur.

Keyakinan Kern makin kuat ketika menemukan kata beras di Indonesia dan kata bras di Tibet yang memiliki arti yang sama. Ia mengatakan, orang Tibet meminjam kata bras dari bahasa Austronesia, yaitu ketika penutur kedua bahasa berhubungan di satu tempat. Tempat pertemuan itu kemungkinan berada di Asia Tenggara.
Prof Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa (1984) menyatakan, cocok tanam padi dengan sistem peladangan diduga berasal dari Birma Utara. Sistem itu kemudian menyebar ke Semenanjung Melayu hingga di Kepulauan Nusantara ( Indonesia dan Filipina) pada saat migrasi.

Teknologi

Sampai awal abad Masehi, pertanian padi di Nusantara diperkirakan masih sederhana. Pertanian padi masih tetap berbentuk perladangan, seperti padi huma yang masih ditemukan di sejumlah daerah di Jawa Barat. Relatif tidak ada sentuhan teknologi.

Sentuhan teknologi cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh India masuk. Di dalam beberapa tulisan di jurnal Orissa Review, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Orissa di India, disebutkan bahwa bangsa Kalinga (nama sebelum Orissa) yang berada di India selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad keempat. Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta membawa pengaruh dalam teknologi penanaman padi.

Kasta brahmana yang berkuasa atas ilmu pengetahuan antara lain membawa metode penanaman padi dengan pengairan. Kaum brahmana memperkenalkan sejumlah teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat.

Setelah itu, nenek moyang kita mulai menanam padi dengan cara pengairan atau yang sekarang dikenal dengan sawah. Sejumlah kakawin dan kidung berbahasa Jawa Kuno (abad ke-8-14) yang diteliti oleh Prof PJ Zoetmulder di dalam buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) telah menyebut keberadaan sawah. Di dalam kakawin itu dikisahkan, raja mendatangi kawasan pedesaan dan melihat sejumlah orang menanam padi.

Dalam salah satu kakawin juga disebutkan, beberapa biarawan terlihat menanam padi. Ada juga penyebutan keberadaan lumbung padi. Sayang sekali jumlah informasi mengenai budidaya padi memang sangat minim di dalam kakawin ataupun kidung karena karya sastra ini lebih banyak berbicara dalam tataran keraton.
Catatan yang agak lebih komplet terdapat di dalam kitab Desawarnana atau Negarakertagama. Di dalam kitab ini diceritakan tentang raja yang memanggil rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya lahan untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk mengelola lahan itu harus membayar pajak ke raja. Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam kitab itu.

Selama masa Majapahit, ekspor beras juga sudah dilakukan. Meski demikian, Koentjaraningrat telah menyebut adanya petani miskin di desa yang serba miskin, di samping mereka yang bergaya hidup keraton dengan segala kemewahannya.

Setelah Majapahit, catatan mengenai budidaya padi terdapat di Mataram. Di dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya (1996) karya Dennys Lombard terdapat catatan mengenai kepemilikan sawah. Di Mataram, sawah tidak hanya dimiliki oleh raja, tetapi juga oleh bangsawan. Bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa.

Di dalam buku yang sama disebutkan, tahun 1804 Residen Yogyakarta Matthias Waterloo mencatat mengenai kondisi produksi padi. "Cukuplah kita bandingkan daerah penghasil padi sekarang dan dua puluh tahun sebelumnya," katanya.

Ketika Inggris berkuasa di Jawa, Gubernur Jenderal TS Raflles (1811-1816) juga menulis, sedikit negeri yang rakyatnya bisa makan sebaik di Jawa. Jarang orang pribumi yang tidak dapat memperoleh satu kati beras yang dibutuhkan per hari. Di dalam bukunya berjudul History of Java (1817), Raflles merinci berbagai alat yang digunakan untuk budidaya padi.

Catatan oleh penulis lainnya menyebutkan, di Kesultanan Yogyakarta beras masih merupakan komoditas ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, batik, dan kain.

Di samping berbagai catatan di atas, keberadaan mitos mengenai dewi pelindung pertanian, yaitu Dewi Sri, membuktikan bahwa budidaya padi merupakan bagian hidup yang penting dari masyarakat di Nusantara, terutama Jawa. Hingga kini pemujaan terhadap Dewi Sri masih dilakukan petani di berbagai daerah.
Di dalam buku Serat Cariyos Dewi Sri disebutkan, cerita tentang Dewi Sri merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa. Cerita itu mengisahkan turunnya Dewi Sri dari surga ke dunia dengan membawa benih padi yang kemudian menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dewi Sri dianggap sebagai tokoh mistis yang dapat memengaruhi kehidupan manusia sebagai pelindung pertanian.

Kemiskinan

Kisah-kisah petani padi setelah pertengahan abad ke-19"sejak tanam paksa diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830)"makin banyak diwarnai kisah pilu. Pada masa itu mulai terdapat kelaparan di berbagai daerah seperti di Cirebon akibat konversi sawah menjadi lahan perkebunan.
Peneliti Peter Boomgard dalam disertasinya tahun 1989, yang kemudian menjadi buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak Jajahan Belanda, menyebutkan, meski selama tahun 1815-1880 mayoritas terbesar penduduk Jawa bekerja di sektor pertanian, makin banyak penduduk di daerah pedesaan terlibat dalam kegiatan nonpertanian sebagai sumber penghasilan.
Citra Jawa pada abad ke-19"yang juga terus terjadi hingga kini"adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau itu memang dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah mereka yang kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk hidup di daerah perkotaan yang padat penduduk. Laporan kelaparan kembali terjadi setelah krisis ekonomi 1930.

Situasi itu sebenarnya sudah meresahkan. Peneliti Prof WF Wertheim pernah mengatakan, ketimpangan yang semakin besar di Jawa hanya tinggal menunggu "tutupnya meledak". Meski demikian, ada juga yang sependapat dengan Prof C Geertz bahwa kaum tani Jawa tidak akan menuju situasi eksplosif, tetapi akan puas dengan "berinvolusi" karena sudah terbiasa "berbagi kemiskinan".

Koentjaraningrat pernah mengusulkan suatu studi mengenai para petani miskin yang tidak memiliki tanah ini dapat menyesuaikan diri dengan suatu kehidupan yang penuh kesengsaraan dan dapat bertahan hidup di daerah pedesaan di Jawa.

Agraris

Apa pun situasinya pada masa lalu dan masa sekarang, pengakuan terhadap nenek moyang kita yang adalah petani padi tidak bisa dihindari. Bila pembaca kurang percaya dengan penyataan ini, telitilah nama orangtua kita atau kakek-nenek kita sendiri, dengan mudah ditemukan bahwa nenek moyang kita memang petani padi.
Bila saja pendahulu kita bernama tidak jauh dari nama Ponimin, Parjiman, Mujinem, Mujirah, Parijan, dan lain-lain, sebenarnya asal- usul kita memang dari generasi petani padi masa lalu. Seorang peneliti bernama R Hatley (1977) pernah menyelidiki sejumlah nama penduduk di Jawa. Ia menemukan beberapa nama yang menunjukkan asal lingkungannya adalah dusun-dusun agraris.

Dari kenyataan ini, masihkah kita membiarkan petani padi sengsara, padahal kita tahu persis mereka adalah nenek moyang kita" Korea Selatan dan Jepang menggunakan kisah, sejarah, dan tradisi nenek moyangnya dalam berdiplomasi di forum internasional agar para petani mendapat perlindungan yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar anda disini >