Jumat, 28 Mei 2010

Oleh : Noor Chasanah/contributor website dk-insufa sektor Keadilan Gender
Kemiskinan menjadi faktor perempuan menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Ironisya, sebagian besar perempuan yang menjadi PRT menerima upah dibawah kelayakan meski harus bekerja selama 24 jam dalam sehari.

Sebagian besar perempuan di Indonesia mengalami banyak hambatan untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera. Perempuan yang berasal dari keluarga miskin mengalami kesulitan lebih besar dari pada perempuan yang berasal dari keluarga kaya dalam mengelola usaha. Pada sisi memenuhi persyaratan lowongan pekerjaan, perempuan dari keluarga miskin juga relatif sulit memenuhi.

Beberapa kendala yang menghambat perempuan memperoleh kesejahteraan meliputi, Pertama, minimnya keahlian dan rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Di beberapa daerah pelosok, perempuan masih mendapat perlakuan diskriminatif dalam

kesempatan bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang tinggi karena adanya anggapan/stigma bahwa tugas perempuan hanyalah di rumah dan tidak perlu bekerja di luar rumah.

Kedua, masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat. Kekuasaan dan otoritas laki laki ikut berkontribusi pengaruh pada lambatnya peluang perempuan untuk bisa berkembang dan mandiri. Contohnya laki laki tidak suka perempuan bekerja diluar rumah sehingga secara tidak langsung perempuan diposisikan sebagai “manusia rumahan”, para suami tidak memperbolehkan istrinya bekerja dengan alasan urusan rumah tangga akan terbengkalai serta realita bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan perempuan masih berada dibawah kontrol laki laki.

Ketiga, belum optimalnya peran dan perhatian pemerintah terhadap tenaga kerja perempuan. Hal ini terlihat pada minimnya kontrol pemerintah atas gaji pekerja perempuan yang cenderung lebih rendah dibanding pekerja laki laki meskipun beban kerjanya sama (contoh upah buruh tani perempuan lebih kecil daripada upah buruh tani laki laki). Masih banyak perusahaan yang memperlakukan tenaga kerja perempuan dengan semena mena (contohnya; upah tidak sesuai UMR, tidak mendapatkan cuti kerja dan cuti haid) .

Beberapa faktor yang berangkat dari situasi kemiskinan itulah yang kemudian menjadi salah satu penyebab perempuan memutuskan dirinya untuk menjadi seorang pembantu rumah tangga (PRT) baik di dalam negeri maupun keluar negeri.  Meskipun menjadi PRT masih dianggap sebagai pekerjaan informal dan belum ada standar gaji serta fasilitas yang jelas bagi PRT, namun sebagian perempuan beranggapan pekerjaan menjadi PRT adalah pekerjaan yang masih mungkin dilakukan dengan berkaca pada  kondisi/ kapasitas yang mereka miliki.

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO), pada tahun 2002 jumlah PRT di Indonesia mencapai kurang lebih 2,59 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 1,4 juta diantaranya bekerja di Pulau Jawa.

Namun, pilihan perempuan menjadi PRT yang harus bekerja stand by dan bisa diperintah sewaktu-waktu dalam kurun waktu 24 jam tidak diimbangi dengan kelayakan gaji yang mereka dapatkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rumpun Gema Perempuan (RGP) pada bulan Maret-Mei 2008, berlokasi di Pamulang (Tangerang), Bekasi, Depok dan Kemuning (Pasar Minggu), dengan jumlah responden 520 orang PRT, rata-rata gaji yang diterima mereka berkisar antara Rp. 201.000- Rp. 300.000. Ada 239 atau 45.96% PRT mendapatkankan gaji kisaran tersebut. Namun ada juga PRT yang masih digaji antara Rp. 100.00 - Rp. 200.000, ada 137 atau 26.34%. Sedangkan, PRT yang bergaji antara Rp. 301.000 – Rp. 400.000 ditemukan sekitar 125 responden atau 24.03%. Hanya ada 17 responden atau sekitar 3.26% yang memperoleh gaji diatas 400.000, dan ada 2 responden yang tidak menjawab ketika ditanya soal gaji mereka. (Kalyanamitra.com, 17 Mei 2010).

Selain upah, persoalan lain yang sering dihadapi PRT yaitu tidak ada libur mingguan, tidak ada hak cuti haid, cuti tahunan bagi yang bekerja dalam kurun waktu setahun dan selebihnya. Berdasarkan hasil penelitian RGP, ada sekitar 54.80% atau 285 dari 520 responden tidak dapat libur mingguan. Dan sekitar 231 responden atau sekitar 44.42 mendapatkan libur mingguan, walaupun dengan beberapa catatan.

Berbagai problem perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga tentu tidak bisa dibiarkan. Pemerintah perlu mengambil langkah konkrit dengan salah satu caranya mengesahkan RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar anda disini >