Sabtu, 22 Mei 2010

Negara Kesatuan Republik Amnesia

Seorang siswa SMA bertanya pada saya dalam sebuah diskusi kelas tentang jurnalistik. Tanyanya, “Pak, kenapa ya, bangsa ini cepat sekali lupa dan melupakan banyak peristiwa yang seharusnya penting sekali diingat dan kemudian dipelajari agar yang buruk tidak selalu terulang lagi. Sementara segala yang baik bisa dimanfaatkan.” Pertanyaan itu spontan mengagetkan saya. Karena apa yang ditanyakan itu sebenarnya inti dari banyak persoalan di negeri ini. Saya pun selalu dibayang-bayangi pertanyaan serupa. Mengapa para pejabat yang mulanya berjanji ini itu ketika berkampanye, ternyata ketika sudah di atas angin mendadak menjadi ‘lupa’. Alias tak bernyali lagi.
Ketika itu saya tidak menjawab pertanyaan, tapi hanya berkomentar: “Memang benar. Itulah yang kini terjadi di negeri ini”
Banyak persoalan yang diberitakan media massa terus terjadi dan bertumpuk? (Apalagi yang tidak ter-cover media massa). Satu masalah besar belum selesai, ditimpa lagi dengan persoalan besar lainnya. Satu belum dibereskan muncul lagi kasus lain yang kadang serupa benar. Lalu, persoalan seolah menguap begitu saja. Tindak lanjut beritanya pun tak ada lagi. Dulu ada kasus Eddy Tanzil. Lalu menguap ke langit. Kemudian ada kasus besar BLBI yang merugikan uang negara hingga ratusan triliun rupiah, pun tidak tuntas. Para pelakunya kabur ke luar negeri, mereka selamat dan aman. Kini ada lagi, kasus Bank Century. Diperkirakan, para pemain yang paling bertanggung jawab juga kemungkinan besar akan aman-aman saja.
Mengapa bangsa ini menjadi pelupa dan mungkin pemaaf?
Jika dikatakan bangsa ini pelupa dan pemaaf sebenarnya tidak juga. Tapi bahwa bangsa ini sedang dilanda kemiskinan berat, itu benar. Badan statistik pemerintah mencatat, kemiskinan di negeri ini hingga Juli tahun 2009 hanya melanda 32 juta orang. Sementara pengangguran hanya dialami oleh sedikitnya 10 juta orang. Data ini sempat ditertawakan banyak pihak, karena dicurigai bersifat politis semata. Masih ada lagi. Selain data-data itu, sebuah LSM yang peduli nasib anak-anak mencatat sedikitnya 10 juta anak usia belajar mengalami putus sekolah. Realitas sosial inilah yang kemungkinan besar membuat anak bangsa menjadi ‘lupa’ dan ‘pemaaf’.
Terlepas dari angka-angka mati itu, kenyataannya puluhan juta warga bangsa yang memiliki kekayaan alam berlimpah ruah itu masih miskin. Jutaan anak bangsa mencari makan di luar negeri dengan segala risiko, karena ibaratnya rumah sendiri tak bisa memberikan jaminan rezeki dan kesejahteraan. Ironis.
Bangsa Indonesia yang sudah berumur 65 tahun dan masih belum juga mandiri itu sebenarnya tidaklah amnesia. Juga tidaklah pemaaf. Dari golongan inilah seringkali gejolak arus bawah itu datang mengalir bagai air bah. Hanya saja, kelompok kelas menengah ke bawah itu masih selalu disibukkan oleh urusan pendidikan dan perut. Semua orang tahu, betapa mahalnya biaya pendidikan sekarang ini. Bangsa ini juga tahu, rakyat miskin masih banyak sekali. Jangankan berpikir pendidikan yang layak dan bermutu untuk anak cucu, dapat makan rutin setiap hari tiga kali saja sudah termasuk bagus. Itu kenyataan.
Belum lama ini, seorang teman di jejaring Facebook mengirimkan beberapa lembar foto bergambar orang nomor satu di negeri ini dengan Artalyta Suryani alias Ayin. Keterangan yang tertera pada foto itu rupanya berkonteks kepala negara dan ibu negara sedang menghadiri resepsi perkawinan anaknya Ayin. Sementara itu di frame yang lain, terpampang juga mantan kepala Polri (yang kini jadi bos intelijen negara) dan istri berfoto bersama sang pengundang, Ayin. Barangkali masih ada lagi para pejabat negeri ini yang juga menghadiri undangan pesta perkawinan dari Ayin, namun fotonya tak sempat dipublikasikan.
Memangnya bisa bicara apa isi foto itu? Foto itu tentu saja tidak akan ngomong apa-apa bila yang difoto itu saya dengan kepala negara atau mungkin saya dengan pejabat negara yang lain. Tapi gambar itu menjadi ‘bicara’ karena Ayin. Masyarakat sepertinya sudah agak lupa siapa Ayin. Tapi begitu ingat nama jaksa Urip dan kasus BLBI, orang teringat kembali. Artalyta Suryani alias Ayin telah divonis bersalah oleh pengadilan karena menyuap jaksa Urip dengan uang tunai 6 M. Ayin pun kemudian juga diketahui sebagai salah satu makelar kasus kelas wahid. Foto itu pun mampu ‘bercerita’ betapa luasnya pergaulan Ayin dengan para pejabat negara. Dan tentu saja, begitu dekatnya relasi antara Ayin dengan pejabat utama negeri ini. Mana mungkin seorang kepala negara akan menghadiri undangan perkawinan seseorang jika tidak punya kedekatan hubungan.
Banyak orang akhirnya ‘memaklumi’ jika kemudian Ayin dengan begitu mudahnya mendapatkan keistimewaan perlakuan di penjara. Bagaimana tidak, Ayin banyak duit (ATM berjalan – istilah lapangan di kalangan penegak hukum) dan punya kenalan luas di kalangan pejabat penegak hukum negeri ini.
Tempo menulis, kerabat dan orang-orang dekat Sjamsul Nursalim sudah akrab dengan istana sejak dulu. Sekarang ada Ayin, dulu ada Jacob Nursalim (keponakan bos BDNI, Syamsul Nursalim pengutang BLBI Rp 28 triliun). Banyak orang tahu, Jacob akrab dengan Taufik Kiemas (kini ketua MPR RI). Pada jaman Mega berkuasa, kasus utang-utang Sjamsul Nursalim dinyatakan selesai. Tapi tetap saja, bosnya Ayin ini seolah tak berminat lagi tinggal di Indonesia. Ada kabar Sjamsul Nursalim kini tinggal di Singapura, ada pula informasi bos BDNI itu tinggal di negeri kanguru Australia. Kemungkinan besar masyarakat juga sudah lupa kasus BLBI, apalagi wajah Sjamsul Nursalim. Banyak pengemban kekuasaan yang juga sudah ‘lupa’ taipan yang pernah bermasalah itu.
Melihat kondisi negeri ini, rasanya memang gemas dan jengkel. Rasanya mau marah, tapi tidak tahu harus marah ke mana dan kepada siapa. Situasi telah menjadi kian ruwet. Gonta-ganti pemimpin dengan timnya, ternyata nyaris sama saja. Orang parlemen diganti pun sama saja. Ujung-ujungnya melupakan rakyat dan asik dengan dirinya sendiri serta kelompoknya atau partainya. Kondisi ini tentu saja sangat menjengkelkan rakyat kebanyakan. Lha…kalau begini, kenapa harus ada negara? Kenapa harus ada pemerintah?
Mungkin Anda masih ingat dengan almarhum Harry Roesli? Seniman, budayawan, pencipta lagu, dan juga musisi mbeling ini pernah dipanggil polisi karena dianggap mengolok-olok negeri ini lewat gubahan syair lagu nasional Garuda Pancasila. Gubahan syair lagu Garuda Pancasila ala Harry Roesli ini mencerminkan kejengkelan itu.
“Garuda Pancasila
Aku lelah mendukungmu
Sejak proklamasi
Selalu berkorban untukmu
Pansila dasarnya apaaaaa
Rakyat adil makmurnya kapaaaannn
Pribadi bangsaku
Tidak majuuuu maju
Tidak majuuuu maju
Tidak majuuuu majuuuu…”
Kalau situasinya seperti ini terus, barangkali negeri ini perlu juga ganti nama bukan lagi NKRI tapi NKRA, Negara Kesatuan Republik Amnesia. Bukankah, isinya orang-orang pelupa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar anda disini >